MUARA TEWEH, BARITO UTARA – Setiap tahun, ketika musim hujan tiba, air kembali merendam ribuan rumah di berbagai kecamatan di Kabupaten Barito Utara. Dari Teweh Baru, Montallat, Lahei Barat, hingga ke Lahei dan Teweh Tengah, banjir seolah menjadi tamu tahunan yang tak kunjung diusir.
Posko darurat pun kembali didirikan, bantuan sembako disalurkan, tim medis turun langsung ke lokasi, dan kepala daerah melakukan peninjauan ke titik-titik terdampak. Tapi satu hal yang belum berubah: absennya solusi jangka panjang untuk mencegah bencana serupa terulang.
“Tiap tahun kami kebanjiran. Bantuan datang, tapi hanya untuk bertahan sebentar. Setelah surut, kami kembali hidup seperti biasa, menunggu banjir berikutnya,” keluh Rasim (54), warga Kelurahan Jambu, salah satu wilayah yang paling parah terdampak tahun ini.
Menurut data yang dihimpun pemerintah daerah, lebih dari 8.000 jiwa terdampak di Teweh Baru saja. Sementara di Kecamatan Montallat, lebih dari 4.000 rumah terendam, beberapa di antaranya dengan ketinggian air mencapai 2,6 meter.
Penjabat Bupati Barito Utara, Drs Muhlis, menyatakan bahwa bantuan logistik dan status tanggap darurat sudah diberlakukan. Namun, tidak ada rincian konkret terkait perencanaan jangka panjang seperti pembangunan sistem drainase, pemetaan zona rawan banjir, ataupun relokasi.
Di sisi lain, 51 pustu dan satu puskesmas terendam di Lahei Barat, 60 sekolah terganggu di delapan kecamatan, dan aktivitas belajar mengajar lumpuh. Anak-anak diliburkan, dengan janji akan ada pembelajaran jarak jauh, walau minim kesiapan teknis dan infrastruktur.
“Kita bisa bertindak cepat untuk darurat, tapi kenapa tidak bisa merancang pencegahan sejak lama?” kritik Syahmiludin A. Surapati, Kadisdik Barito Utara, yang juga mengakui bahwa banjir berdampak serius pada hak dasar anak untuk mendapat pendidikan.
Bahkan, dalam Rakor Penanganan Banjir yang digelar di Aula Setda Senin lalu, diskusi kembali berkutat pada koordinasi bantuan logistik, bukan pembangunan berkelanjutan.
Pengamat tata ruang dan lingkungan, Dr. Eko Prasetyo, menilai lemahnya perencanaan wilayah dan pemantauan tata guna lahan jadi salah satu faktor utama.
“Tanpa perubahan pada skema pengelolaan DAS dan pembangunan berbasis mitigasi, banjir akan tetap jadi siklus bencana yang membebani warga dan anggaran daerah,” tegasnya. (bvs)