PENAKALTENG, Muara Teweh – DPRD Kabupaten Barito Utara mengambil sikap tegas terhadap polemik pembebasan lahan yang tengah berlangsung di wilayahnya. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Senin (6/10/2025), DPRD menekan pihak perusahaan untuk segera menyelesaikan kewajiban pembayaran kompensasi kepada masyarakat terdampak—dengan batas waktu paling lambat akhir Oktober 2025.
Dipimpin Wakil Ketua II DPRD, Hj. Henny Rosgiaty Rusli, S.P., M.M., rapat tersebut menjadi forum penting untuk memastikan proses pembebasan lahan berjalan transparan, adil, dan berpihak pada masyarakat. Sebanyak 13 anggota DPRD, perwakilan perusahaan, serta unsur eksekutif daerah turut hadir dalam pertemuan yang berlangsung di ruang rapat utama DPRD Barut.
“Kompensasi kepada warga yang lahannya sudah digusur dan yang akan dibebaskan tidak boleh ditunda lagi. Ada batas waktunya—akhir Oktober. Kalau tidak diselesaikan, akan menimbulkan gejolak,” tegas Hj. Henny dalam forum.
Tak hanya itu, DPRD juga mewajibkan perusahaan melaporkan secara resmi status perolehan tanah kepada Pemkab Barito Utara melalui Dinas Perkebunan dan instansi teknis lainnya. Laporan ini akan menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam mengawasi legalitas dan etika proses pembebasan.
RDP juga menghasilkan sejumlah poin penting, di antaranya:
- Sosialisasi wajib dilakukan sebelum pembayaran, dengan melibatkan pemerintah daerah agar proses berjalan transparan dan tidak memicu konflik sosial.
- Pembangunan kebun plasma minimal 20 persen dari total lahan perkebunan harus direalisasikan bersamaan dengan pembangunan kebun inti, sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat lokal.
Plt Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Barut, Arson, S.T., M.Eng., turut hadir dan mendukung langkah DPRD dalam mengawal kepentingan masyarakat.
DPRD menegaskan bahwa hasil RDP ini bukan hanya catatan, tapi akan menjadi dasar pengawasan dan tindak lanjut konkret terhadap seluruh proses pembebasan lahan yang berlangsung di Kabupaten Barito Utara.
“Ini bukan hanya soal administrasi. Ini menyangkut hak masyarakat dan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan investor. Jangan main-main,” tutup Hj. Henny. (bvs)